CINTA DI GUNUNG PERAHU
Malam
yang sunyi, hewan-hewan malam berkeliaran dan membuat suara-suara mengiringi
heningnya malam itu. Walau raga ini tak lagi dapat memilikimu, tapi aku tetap
akan memperhatikanmu dari jauh. Masih sangat lekat ku ingat perkataan Wisnu
tadi sore. Perkataan yang dalam sekejab saja mampu mematahkan hatiku,
menjadikannya kepingan kecil, namun aku masih mencintainya dengan kepingan yang
tersisa itu. Sore itu hujan sangat deras, aku cukup lama menunggumu di taman
hingga akhirnya aku mencari tempat yang teduh. Kau menghampiriku.
“Aku
ingin mengatakan sesuatu.”
“Aku
udah lama nungguin kamu disini, Apa yang ingin kamu katakan?”
“Aku
gak bisa nerusn hubungan kita. Aku mencintai gadis lain.”
Seketika
senyum yag merekah di wajahku langsung pudar. “Apa kamu bilang? Apa kamu udah
gak sayang sama aku?”
“Sebenarnya
aku sudah 2 bulan ngeduain kamu, gadis itu mampu memikat hatiku, waktu itu aku
ingin jujur ke kamu, tapi aku gak tega kalau harus ngomong ke kamu. Tapi aku
pikir jika aku terus membohongimu, itu akan lebih menyakitkan lagi.”
Aku
sangat syok, aku diam rasanya air mataku akan menetes. “Kenapa kamu lakuin ini?
Kenapa kamu tega berbuat seperti ini?” dan akhirnya air mata itu benar – benar
jatuh ke pipiku.
“Maafkan
aku, udah buat kamu kecewa. Tapi kita tetap bisa berteman, aku janji itu.”
Tanpa
berkata apapun aku melepaskan genggamannya pada tanganku, dan berlari menuju
rumah ditengah derasnya air hujan yang turun. Aku sangat kecewa, sudah 1 tahun
hubunganku dengan Wisnu, dia sangat perhatian padaku. Aku sama sekali tak
menyangka dia ngeduain aku selama 2 bulan. Dan gadis itu adalah Gea sahabatku
sendiri, betapa hancurnya aku, mereka tega membohongiku dan bermain api di
belakangku.
Malam
ini aku benar – benar merasakan sakitnya, orang yang selama ini selalu
membuatku tersenyum bahagia, membuat hidupku sangat indah dan berarti. Sekarang
dia juga yang menghancurkan semua cinta yang ku miliki, dia yang membuat air
mataku harus keluar begitu derasnya. Tapi aku tak ingin larut dalam kesedihan ini.
Dia bukanlah orang yang bisa mengatur jalan hidupku, aku pasti bisa tanpanya.
Pagi
pun tiba, aku memutuskan untuk tidak berangkat ke kampus hari ini, walau aku
tau hari ini aku ada mata kuliah, aku masih takut dengan kenyataan itu. Lagi pula
mataku masih lebam karena sejak kemarin siang aku terus menangis. Aku
memutuskan untuk pergi ke gramedia, ya… aku memang senang membaca buku, dan
aku pikir lebih baik aku ke sana dari
pada hanya berdiam diri di rumah saja, yang justru akan mengingatkanku pada
Wisnu.
Hari
ini Gramedia cukup sepi, ya aku tau ini karena sekarang jam sekolah, tapi kalau
hari libur, pasti sangat banyak yang datang kemari untuk membeli buku atau
hanya sekedar membaca buku saja. Buku fiksi, huh kenapa harus itu yang menarik
untuk ku baca, aku bermaksut mencari buku – buku lain, aku berbalik dan tak
sengaja aku menubruk seorang laki-laki. Buku –buku yang ku pegang pun jatuh
berserakan, uh cerobohnya aku.
“Maaf
aku tidak sengaja.” Kataku sambil memungut buku – buku ku yang jatuh.
“Tak apa,, biar aku bantu.” Jawab
laki – laki itu sambil tersenyum dan membantuku mengambil buku –buku yang
berserakan itu. Dia melihat buku koleksi buku pemandangan alamku, dan dia
tertarik terhadap buku itu.
“Apa ini?”
“Oh itu buku koleksi foto
pemandangan milikku.”
“Boleh aku melihatnya?”
“Ya, kenapa tidak.” Dia mulai
membuka buku ku itu dengan tidak sabar.
“Indah sekali, kamu pernah ke tempat
– tempat ini?”
“Ya, foto –foto itu aku yang
mempotretnya sendiri.”
“Oh ya? Sungguh?”
“Ya, aku suka pergi ketempat –
tempat yang indah dan hunting foto di sana. Oh ya sedari tadi sepertinya kita
belum berkenalan. Kenalin aku Arlian”
“Oh
ya aku Rafa, kau tau? Aku sangat suka pergi ke tempat yang indah di alam ini
dan menikmati pemandangan serta udaranya.”
“Wah..
tempat mana saja yang sudah kamu kunjungi?”
“Banyak
deh,, eh aku punya undangan buat pergi mendaki gunung ke gunung perahu. Kamu
mau?” katanya sambil mengeluarkan sebuah undangan dari dalam tasnya, dan
menyodorkannya padaku. Aku masih diam, dan dia pun berkata lagi “Ya tapi kalau
kamu gak mau juga gak apa – apa, lagipula kita baru saja kenal.”
“Oke
aku mau, makasih ya.”
Aku
tersenyum dan dia membalas senyumku, tak lupa aku dan Rafa bertukar no hp, aku
mengobrol denganya lewat telephon dan sms. Hingga akhirnya aku tau bahwa Rafa,
cowok kelahiran bandung 14 mei yang hidup di Jakarta sebagai anak kuliahan, dia
juga bekerja di café saat malam hari, itu dia lakuin karena dia gak pingin
banyak ngrepotin orag tuanya. Biaya dari bekerja di café dia gunakan untuk
membayar kontrakannya dan biaya hidup sehari-hari.
Kata
dia ayahnya adalah pemilik sebuah perusahaan, dan ibunya seorang desainer gaun.
Tapi dia tidak pernah bergantung pada penghaslan orang tuanya, dia lebih suka
mandiri, karena kata dia… uag yang di miliki orang tuanya gak aka selamanya
menjamin hidupnya sampai tua.
Aku
sedikit malu saat menceritakan tentang diriku padanya, karena aku sangat
bergantung pada penghasilan ayah dan ibu, aku gak pernah berfikir untuk mandiri
dan gak nyusahin orang tua lagi. Aku hanya berfikir, orang tuaku kan pegawai
negri jadi untuk apa aku mencari tambahan uang saku, kalau jika aku meminta apa
yang ku inginkan pasti di turuti. Tapi setelah mendengar cerita Rafa, aku mulai
berfikir harusnya aku pun bisa membanggakan orang tuaku. Apalagi aku anak
mereka satu – satunya.
Tiba
saatnya hari yang aku tunggu, dapat mendaki gunung perahu bersama Rafa, cowok
yang aku yakin bisa mengajariku untuk dewasa, gak seperti aku sekarang yang
manja dan gampang putus asa. Ku lihat keluar jendela kamarku, seorang laki –
lagi mengenakan jaket putih telah menungguku di atas sepeda motornya. Aku
tersenyum padanya dia juga tersenyum padaku, dan aku bergegas turun untuk
menghampirinya.
“Kamu
terlihat cantik hari ini.”
“Bisa
aja kamu ngegombal, ayo berangkat.”
“Ih
tapi bener deh Ar, beda sama pertama kita ketemu di Gramedia.”
Aku
hanya tersenyum padanya dan naik ke motornya. Ya iya lah waktu di Gramedia kan
aku baru aja nangis hebat karena putus dengan Wisnu, gumamku dalam hati.
“Kok
kamu gak ajak cewekmu?”
Rafa
tertawa mendengar pertanyaanku. “Gila,
cewekku? Aku jomblo kalik.”
“Yang
bener aja? Cowok sekeren, sebaik, dan se mandiri kamu belum punya cewek?” aku
memang agak kurang percaya dengan jawabannya.
“Iya
sungguh, kamu gak percaya?”
“Enggak,
biasa aja kok.”
Akhirnya
kami sampai di tempat pemberangkatan mendaki, di sana banyak orang, kata Rafa
sih itu teman – temannya. Kebanyakan satu kampus sama dia. Sambutan pun datang
ketika Rafa menggandengku setelah memarkir motornya.
“Ini
cewek lo Raf?”
Rafa
tersenyum mendenga perkataan temannya itu. Dia menjawab “Tanya saja padanya” dan sekarang dia
tersenyum ke arahku. Saat aku memalingkan wajahku kearah lain aku kaget ku
lihat Wisnu dan Giana gadis yang merebut Wisnu dariku berada di sini juga.
Pikiranku langsung kacau, aku melepaskan tangan Rafa dan berlari sambil
menangis, Rafa segera mengejarku, menarikku dan mendekapku, aku terisak.
“Aku
ingin pulang, aku gak mau di sini.!” Pintaku.
“Ada
apa? Kok kamu tiba – tiba begini.”
“Pokoknya
aku ingin pulang Rafa!” bentakku, aku tak ingin Rafa tau salah satu temannya
adalah orang yang membuat aku jadi seperti ini.
“Tenanglah,
ceritakan padaku apa yang terjadi.”
Aku
mencoba untuk tenang, dan saat ku rasa aku sudah tenang, aku menceritakan semua
pada Rafa, dia akhirnya mengerti. Tapi dia tetap memintaku untuk tetap ikut.
“Tidak..!
aku gak bisa Rafa.”
“Dengar
Ar, Wisnu itu masa lalumu, sedangkan sekarang, aku bersamamu, aku akan
melindungimu, percaya padaku kamu pasti bisa.”
Aku
pun setuju dan mengikuti perkataan Rafa. Berjam – jam kami mendaki, akhirnya
kami sampai juga di puncak gunung itu.
“Wah…
indah sekali.” Kataku dengan riang.
“Benarkan
yang ku katakana kamu pasti senang.” Sahut Rafa meledekku.
Aku
memotret banyak gambar, begitu memukau dan begitu indah. Aku baru pertama
kemari. Dan selain pemandangan di sana, Rafa juga menjadi objec fotoku juga.
Sedang asyik aku memotret semua yang menarik bagiku, Rafa memegang tanganku dan
berkata :
“Arlian,
boleh aku bicara sebentar.”
“Aku
ingin kamu tau, aku menyayangimu lebih dari seorang teman.”
“Maksutmu?”
“Aku
mencintaimu Ar, maukah kamu menerima cintaku?”
Badanku
terasa dingin mendengar perkataan Rafa itu, bibirku mengatup seakan ingin
mengeluarkan kata – kata namun tak dapat aku katakan. Dan Rafa meyakinkanku
kembali.
“Aku
janji aku akan menjagamu, aku tak akan membiarkanmu terluka dan tak akan
menggoreskan sebuah luka di hatimu.”
“Kamu
becanda ya Rafa?”
“Aku
serius Ar, sejak pertama kita ketemu, lalu kita berkenalan, makin hari aku rasa
aku merasakan hal yang beda, perasaan yang lebih dari perasaan kepada sahabat.”
Aku
terdiam sejenak dan akhirnya aku berkata. “Aku yakin bersamamu, pasti hidupku
lebih baik, kamu dewasa, kamu mandiri, kamu bisa mengajarkanku bagaimana hidup
sesungguhnya dan bagaimana cara menghargai orang lain. Aku…. “ ku hentikan sejenak ucapanku dan menghela
nafas panjang “Iya, Rafa… aku mau, aku
terima kamu.” Ucapku sambil tersenyum.
Rafa
sangat senang mendengar jawabanku. Dan lama kelamaan aku dapat melupakan rasa
sakit hatiku akibat Wisnu. Aku bisa melupakan apa yang Wisnu perbuat dan semua
itu karena kehadiran Rafa di hidupku, dia mampu membuat perubahan pada diriku.
Aku menjadi gadis yang bisa di andalkan oleh orang tuaku, mandiri, gak manja
lagi, gak pernah nangis lagi. Rafa membuatku menjadi lebih baik dari dulu.
Hubunganku denganya pun berjalan baik, ibu Rafa sangat baik dan sangat bangga
denga Rafa.
Weleri, 20 April 2014
Nadia Agnes Rasheesa
Komentar
Posting Komentar