Story To Rain



Hujan selalu bersahabat dengan pohon, jalan dan yang lain, turun dengan riang berusaha menghibur hari yang sepi. Menyejukkan jiwa, menebar ketenangan yang abadi. Setiap hujan datang Aku senang menatapnya dari balik jendela kamarku, seperti yang kulakukan saat ini, memandang butir-butir air itu turun. Aku menatap keluar, menerawang mengingat peristiwa 4 hari lalu, saat dimana Rio meminta hubungan kami berakhir. Masih terbayang sesaknya hati ini ketika itu, air mata yang mengalir deras saat mendengar Dia mengatakannya.
Laki-laki yang mampu membuatku begitu spesial, dia menyayangiku yang ku tau seperti itu, memang terkadang perhatiannya tersembunyi. Jarang dia tunjukkan secara langsung, tapi aku mampu mengetahuinya, terkadang sikap dan pribadinya sering membuatku penasaran. Sebenarnya dia selalu memperhatikan langkahku, namun dia hanya diam dengan apa yang aku lakukan, terkadang aku bingung, benarkah dia mencintaiku? Tapi jika tidak mengapa dia menyatakan perasaan sayangnya itu padaku? Entahlah aku pun tak tau. Semua kenangan bersamanya kini hanya tinggal cerita, tak akan ada lagi kata cinta antara aku dan dia.
Kemarin sewaktu aku pergi bersama Rafa dan Adi, kedua sahabat Rio itu ternyata telah mengetahui berakhirnya hubunganku dengan Rio. “Yang sabar, percaya atau enggak, dia bilang ke aku Jika saatnya nanti sudah tepat, dan Cinta itu masih ada, bisa kembali lagi” kata-kata Adi itu masih terbayang jelas dalam ingatanku, Adi juga bilang “Dia masih sayang banget kok sama kamu”. Aku juga baru tau kalau ibunya pingin dia fokus sama sekolah dan karirnya. Ya itu untuk masadepan dia. Aku paham itu, namun kenapa? Apakah hanya gara-gara itu hubunganku dengan Rio harus berakhir? Atau juga karena gadis itu? Naila, semua orang tau mereka adalah teman dekat, Naila adalah manta dari Rafa, namun baik, Adi, Rafa, tak tau bahwa Rio pernah punya cinta untuk Naila. Entah masihkah rasa itu saat ini.
Lantas apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku berdiam diri, atau tetap mempertahankan perasaanku untuknya ini hingga saatnya nanti? Aku benar-benar bingung, kuputuskan untuk turun dari pinggir jendela dan menuju ke kasur. Siapa tau setelah aku istirahat kondisiku lebih baik.


2 minggu kemudian
Sebuah taman yang biasa kami kunjungi, aku menuju sebuah tempat duduk, dari semen yang di bentuk melingkar seperti potongan pohon yang baru saja ditebang. Dihiasi meja dari semen pula di tengahnya, ada 8 tempat dudukdisana. Duduk di bangku itu menunggu Adi, entah berapa lama fikiranku melayang ke masa lalu. Baiklah aku menghela nafas, di taman ini pula aku dan Rio pertama mengukir kisah kami.
“Amara” suara itu terdengar bersamaan dengan seseorang yang memegang pundakku. Itu Adi, tanpa menoleh kearahnya aku berkata “Kurasa aku butuh liburan, Di”
            “Iya Ra, itu terlihat lebih baik” jawab Adi, sambil berpindah dan duduk di bangku sebelahku.
“Mungkin aku akan berangkat dua hari lagi”
“Berliburlah, Ra. Semua akan baik baik saja seelah itu”
“Akhir-akhir ini dia lebih perhatian padaku, Di”
“Ya bagus, Ra. Mungkin dia lebih nyaman seperti ini”
“Tapi sampai kapan aku harus menunggunya.”
Adi hanya tersenyum menatapku. Aku melanjutkan ucapanku “Rio hanya diam dan sesekali memberi perhatiannya untukku.”
“Dia tak mau kau terluka.” jawabnya
“Lantas mengapa dia tak serius padaku”
“Ohh dia menyayangimu, percayalah. Baiklah sudah ayo, mau aku traktir minum jus?”
Aku dan Adi beranjak dari tempat kami menuju kedai jus buah langganan kami, jus di sini enak, rasanya berasa buah banget. Dan.. ya, lagi lagi ada kenangan Aku dan Rio disini. Saat kami sedang menikmati jus, hujan turun dengan deras, Aku menoleh ke kaca, menatap keluar sana.
“Ngapain hujan dilihat sampai seperti itu”
Aku menoleh ke arah Adi dan menjawab “Rio, aku mengingatnya.”
“Nanti kita pulang setelah hujan reda saja, kita kan bawa sepeda, sulit kalau hujan begini.” jawabnya tanpa mempedulikan perkataanku.
Pintu kedai terbuka, perasaanku sangatlah terpukul melihat pemandangan itu ‘mana mungkin kau mampu menyakiti hati ini Rio.’ Aku tak menyangka firasatku benar, kau bersama Naila, gadis itu tak pernah hilang dari fikiranmu. Lantas selama ini aku apa? Aku siapa bagimu? ‘Oh Amara, jangan menangis, butir butir air itu akan jelas terlihat jika kamu menangis sekarang’ ucapku dalam hati sembari menenangkan diriku.
Adi melihat kearah pandangan mataku, kemudian menatapku dan berkata.
“Ayo kita ketempat lain, atau kau ingin main hujan denganku?”
Aku tak menjawab, rasanya bibir ini tak mampu berucap, hati ini terlalu sakit. Sayatan itu begitu dalam kurasa. Aku hanya mengikut saja saat Adi menarik tanganku untuk beranjak pergi. Kami melewati Rio dan Naila yang masih melihat kearahku, tiba-tiba Rio menangkap pergelangan tanganku dan menahanku pergi.
“Kau kenapa?” tanya Rio.
Aku hanya diam.
“Kau jangan bertingkah bodoh dan seolah tidak tau, Rio” ucap Adi, sambil melepaskan tanganku dari genggaman Rio.
“Maafkan Aku” ucap Rio sambil menatapku.
Adi menarikku untuk pergi, kami keluar dari kedai itu. Aku melepskan tanyanku dari Adi, mengusap pipiku. Apa ini? Air? Tak ku sangka tangis ini tak dapat terbendung, jiwa ini terlalu sakit untuk menahan air mataku jatuh. Jatuh begitu derasnya, aku menuju ke sepedaku, menuntunnya melangkah pergi, sekarang aku dapat menangis tanpa ada orangyang tau. Adi segera menyusulku.
“Ra, kau baik-baik saja?”
“Aku tidak apa-apa, tinggalkan aku, aku ingin pulang sendiri.”
“Tapi Ra, ini hujan, biarkan aku mengantarmu.”
“Tidak, Pergilah! Aku ingin sendiri.”
“Ok baiklah, kau yakin?”
“Ya”
Adi menuruti ucapanku dan pergi. Sesampainya dirumah aku berlari ke kamarku tak peduli badanku basah, aku langsung menuju tempat tidur dan menangis cukup lama. Hingga aku sadar phonecellku berbunyi sedari tadi. Ku lihat di layar tertulis nama ‘Adi’ aku tau dia pasti khawatir, namun aku tak mengangkatnya. Tak lama kemudian phonecellku berbunyi lagi dan sekarang ‘Rafa’ ya, dia pasti sudah tau kejadian tadi dari Adi. Kuletakkan kembali phonecell ku.
Dering  itu kembali terdengar, aku enggan melihatnya, pasti jika bukan Adi, pasti Rafa. Aku sedang tak ingin berbicara pada mereka. Namun setelah berkali kali bunyi itu terulang aku meraihnya, betapa terkejut aku, itu bukan telephon dari Adi, ataupun Rafa. Itu dari Rio. Aku menghela nafas, kuangkat sambil berharap ini kabar baik.
“Ra” ucap Rio
“Ya, ada apa menelphonku?”
“Maafkan Aku”
“Tidak, Kamu gak salah”
“Jangan bohong, aku tau aku salah, Ra. Aku memang belum bisa melupakan perasaanku pada Naila. Tapi kau harus tau, aku menyayangimu. Tapi untuk saat ini aku benar-benar hanya ingin fokus pada sekolah dan karirku.”
“Kau tau? Sakit rasanya laki-laki yang aku Cinta masih menaruh harap pada gadis lain.”
“Aku yakin suatu saat rasa ini akan habis untuknya, Ra. Maafkan aku yang telah menyakitimu, namun sejujurnya aku tak ingin membuatmu kecewa.”
“Sudahlah percuma saja, Rio. Percuma kau menyuruhku menunggu dengan cinta yang tak pasti.”
“Maaf Amara. Aku belum bisa”
“Silahkan kau raih mimpimu, cita-citamu, jangan pedulikan aku.”
“Ra, Lupakan aku, Lupakan Cinta itu, Lupakan aku pernah memberimu sebuah janji, Lupakan bahwa dulu kita memiliki hubungan Spesial. Aku tak bisa jika harus selalu menyakitimu”
Aku hanya diam, ku tutup telephon itu.

***
“Ra, Lupakan aku, Lupakan Cinta itu, Lupakan aku pernah memberimu sebuah janji, Lupakan bahwa dulu kita memiliki hubungan Spesial. Aku tak bisa jika harus selalu menyakitimu”
Kata-kata itu masih selalu teringan dalam fikiranku.


Weleri, 5 Juli 2014
Nadia Agnes Rasheesa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat pagi, semesta

Pesan Untukmu

Pertemuan dan Awal Kisah Kita